Puasa dan Mudik

Hari ke 29

istilah mudik pertama kali dipakai sebagai
sebuah kata dalam ruang publik Indonesia baru terjadi pada 1983. Sebelumnya, masyarakat menggunakan berbagai istilah untuk menyebut kegiatan mudik tersebut. Mulai dari “pulang ke kampung halaman”, “bersilaturahmi dengan keluarga besar”, “halal bi halal dengan keluarga di daerah”, dan sebagainya.

Istilah mudik juga muncul berkenaan dengan kegiatan pulang kampung di Yogyakarta. Dalam sebuah surat kabar tahun 1983, menjelang lebaran, ada kisah tentang para pembantu yang berasal dari kawasan Jalan Kaliurang, dekat lereng Merapi di sebelah utara, bekerja di pusat kota Yogyakarta di sebelah selatan. Pada sebuah wawancara, mereka menggunakan kata “mudik” untuk menunjukkan kegiatan mereka kembali ke rumahnya di Kaliurang. Dari situlah kemudian kata mudik mulai banyak dipakai

Jadi memang mudik itu pulang dari kota ke bagian hulunya (desa),
istilah mudik pertama kali dipakai sebagai sebuah kata dalam ruang publik Indonesia baru terjadi pada 1983. Sebelumnya, masyarakat menggunakan berbagai istilah untuk menyebut kegiatan mudik tersebut. Mulai dari “pulang ke kampung halaman”, “bersilaturahmi dengan keluarga besar”, “halal bi halal dengan keluarga di daerah”, dan sebagainya.

Asal-usul kata mudik

Asal-usul kata ini sudah ada sekitar 1390. Kata "mudik" ditemukan dalam naskah kuno berbahasa Melayu. Kata "mudik" dalam naskah ini mengandung arti 'pergi ke hulu sungai'. "Kata ini tampaknya berkaitan dengan kata "udik" (hulu sungai) yang dilawankan dengan "ilir" (hilir sungai),"

Perubahan makna

Dalam perkembangannya, kata "mudik" mengalami perubahan makna. Pada awalnya berarti pergi ke hulu sungai, kini bermakna pergi ke kampung.

"Dari arti awal 'pergi ke hulu sungai', kata ini mengalami perubahan makna 'pergi ke kampung' karena hulu sungai (pedalaman) dianggap identik dengan kampung asal,"

Makna mudik kemudian tidak hanya terbatas pada kampung saja. Kampung atau tempat asal menjadi bukan hanya merujuk pada wilayah kampung/desa, melainkan juga wilayah kota.

"Komponen makna yang dipertahankan ialah "tempat asal", bukan jenis tempat asal itu,"

Sejarah mudik

Kebiasaan mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam, di wilayah kekuasaan Majapahit hingga ke Sri Lanka dan Semenanjung Malaya.

"Awalnya, mudik tidak diketahui kapan. Tetapi ada yang menyebutkan sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam, " kata Silverio.

Akibat wilayah kekuasaan yang luas, Kerajaan Majapahit menempatkan pejabat-pejabatnya di daerah-daerah kekuasaan.

Suatu ketika, pejabat itu akan ingin pulang ke pusat kerajaan untuk menghadap Raja dan mengunjungi kampung halamannya.

Hal inilah yang kemudian dikaitkan dengan fenomena mudik.

"Selain berawal dari Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Terutama mereka balik menghadap Raja pada Idul Fitri,"

Akan tetapi, istiah "mudik" baru populer sekitar 1970-an. Kata ini menjadi sebutan untuk perantau yang pulang ke kampung halamannya.

Dalam bahasa Jawa, masyarakat mengartikan mudik sebagai akronim dari mulih dhisik yang berarti pulang dulu.

Sementara, masyarakat Betawi mengartikan mudik sebagai 'kembali ke udik'.

Dalam bahasa Betawi, udik berarti kampung. Akhirnya, secara bahasa mengalami penyederhanaan kata dari "udik" menjadi "mudik".

Mudik zaman dulu berbeda dengan zaman sekarang.

Dulu, mudik dilakukan secara natural untuk mengunjungi dan berkumpul dengan keluarga.

Sekarang, mudik lebih lekat dengan ajang eksistensi diri. Masyarakat datang ke kampung untuk membawa sesuatu yang bisa dibanggakan. 

Khusus yang sekarang mudik belum bisa seperti dulu, banyak hal yang perlu dipersiapkan dan dipertimbangkan bila tetap mudik, walaupun sekarang jarak tidak jadi halangan untuk silaturahim, namun tetap saja belum afdhol rasanya bila belum ketemu langsung, seperti anjuran silaturahim lewat video call memanfaatkan teknologi dan lainnya.

Selama tidak mudik banyak hal positif yang bisa diambil misalnya uang yang untuk biaya mudik bisa dikirimkan ke orang tua kita yang menjadi tujuan mudik, paling tidak banyak hal yang didapat dari jumlah uang yang dikirimkan karena tidak dipakai mudik. Mungkin bisa juga disedekahkan kepada kawan atau keluarga kita yang sangat membutuhkan, banyak hal positif yang bisa dilakukan, tinggal dari kita saja apakah bisa melakukannya.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/05/11/072900865/asal-kata-dan-sejarah-mudik-tradisi-masyarakat-indonesia-saat-lebaran?page=all,

#puasamenulis_29

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROGRAM KEGIATAN UJIAN PRAKTEK PENJASORKES

RPP BERDIFERENSIASI PJOK SMP