Computational Thinking dan Compassion


Angin segar datang dari Mendikbud Nadiem Makarim, bahwa kompetensi yang akan dikuasai peserta didik akan ditambah.

Seperti dilansir laman Cnbcindonesia.com, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencanangkan dua kompetensi baru dalam sistem pembelajaran anak Indonesia. Dua kompetensi tambahan itu adalah Computational Thinking dan Compassion. (18 February 2020)

Computational Thinking? Padahal pembelajaran HOTS baru saja selesai dari program pelatihan guru yang serempak dari TK hingga SMA di akhir Desember lalu. Hasil tes akhir peserta memang menggembirakan. Walau pun ada yang belum lulus memenuhi kriteria kelulusan 70,00 dari seluruh akumulasi nilai. Namun banyak yang berhasil dan diharapkan mampu menerapkannya di dalam kelas.

Berbeda dengan HOTS,  Computational Thinking, Jeannette M. Wing menganggap pemikiran komputasi sebagai keterampilan dasar untuk kemampuan analitis semua orang sama dengan kecakapan dengan membaca, menulis, dan berhitung. Tulisan J. M. Wing ini dimuat di Jurnal Communication ACM pada Tahun 2006.

Computational Thinking adalah "cara berpikir (atau memecahkan masalah) seperti seorang ilmuwan komputer." Dengan kata lain, Computational Thinking adalah adalah sebuah metoda pemecahan masalah dengan mengaplikasikan/melibatkan teknik yang digunakan oleh software engineer dalam menulis program.

Computational Thinking bertujuan memformulasikan masalah dalam bentuk masalah komputasi dan menyusun solusi komputasi yang baik (dalam bentuk algoritma) atau menjelaskan mengapa tidak ditemukan solusi yang sesuai.

Terdapat beberapa metode berpikir komputasi/computational thinking dalam memecahkan masalah.

Decomposition, ketika peserta didik diberikan sebuah masalah dalam kelompok-kelompok kecil dalam kelas, mereka akan memecah-mecah masalah menjadi lebih kecil. Dan pembagian fokus peserta didik tidak akan sama sesuai pengamatannya.

Dengan bimbingan guru peserta didik diajak untuk mengidentifiksai masalah sampai ke pokok sebuah masalah. Nah, ketika masalah telah ditemukan dalam bagian-bagian kecil pada saat itulah peserta didik diajak untuk menyelesaikannya satu persatu dan mengidentifikasi perbagian darimana masalah itu datang.


Pattern Recognition, peserta didik dalam bimbingan guru dapat mencari pola dari setiap masalah aktual yang disajikan. Dengan bantuan media pembelajaran berbasis internet mereka bisa mencari contoh-contoh keterkaitan permasalah dan pemecahan yang telah dilakukan orang lain.

Dalam setiap masalah biasanya terdapat pola pola tertentu untuk memecahkannya disitu kita dituntut mengetahui sendiri bagaimana pola tersebut.

Abstraksi, Melakukan generalisasi dan mengidentifikasi prinsip-prinsip umum yang menghasilkan pola, tren dan keteraturan tersebut. Dalam hal membuat generalisasi, kesulitan terbesar peserta didik bukan pada bagaimana berfikirnya. Mereka tahu, namun sulit mengungkapkannya dalam bentuk kalimat yang mudah dicerna. Apalagi jika diminta membuat laporan tertulis.

Peran guru menjadi sangat penting mengajak peserta didik untuk berani mengemukakan pendapat dan hasil pencarian pola tersebut. Bagi peserta didik lebih mudah kadang menggunakan bahasa daerah. Maka biarkan saka bahasa daerah digunakan. Yang penting apa yang dingin diutarakan tertangkap jelas dan dipahami oleh seluruh kelas.

Algorithm, mengembangkan petunjuk pemecahan masalah yang sama secara step-by-step, langkah demi langkah, tahapan demi tahapan. Pada kegiatan pembelajaran ini, peserta didik diminta untuk merumuskan tahapan dengan mengisi lembar LKS yang telah disediakan guru.

Ketika langkah tersusun rapi maka ketika ada peserta didik lain yang ingin dapat menggunakan tahapan demi tahapan yang ada guna menyelesaikan permasalahan yang sama.

Sejalan dengan itu, model pembelajaran berbasis masalah yang telah terlaksana tidak lagi hanya menjadi model yang digunakan guru ketika akan mengadakan penelitian tindakan kelas guna persyaratan kenaikan pangkat belaka. Namun benar terlaksana dan seluruh kelas dapat mengambil guna model pembelajaran berbasis masalah tersebut.

Dalam pembelajaran berbasis masalah peran guru yaitu, bertanya tentang pemikiran, memonitor pembelajaran, menantang siswa untuk berpikir, menjaga agar peserta didik terlibat, mengatur dinamika kelompok, dan menjaga berlangsungnya proses.

Hal terpenting dari Computational Thinking membantu membantu peserta didik membuat struktur penyelesaian masalah yang rumit, kemudian secara detail dapat menyelesaikannya. Permasalahan yang disajikan tentunya adalah masalah yang sederhana sesua dengan tangkap berpikir peserta didik. Mereka diajak untuk memahami masalah, mengumpulkan semua data, kemudian mulai mencari solusi sesuai dengan masalah.

Contoh sederhana dari penerapan Computational Thinking  dalam pembelajaran. Ketika peserta didik dihadapkan dengan masalah banyaknya sampah plastik berupa bekas sedot minuman yang berserakan di halaman sekolah dan di depan kelas.

Selanjutnya guru meminta peserta didik mencari solusi dari permasalahan tersebut dengan meminta peserta didik untuk mempelajari bagaimana membuat solusi tersebut yaitu memanfaatkan sampah sedot minuman plastik melalui informasi dari buku maupun internet.

Dengan menonton berbagai tayangan youtube yang ada berkaitan dengan sampah sedotan plastik peserta didik mampu mendefinisikan bagian-bagiannya serta memahami bagian dan prosesnya secara sederhana bagaimana pemanfaatan sampah sedotan plastik dan ini merupakan proses bernama dekomposisi dalam pemikiran komputasi.

Setelah itu peserta didik diminta untuk turun ke lapangan dan praktik mengumpulkan sampah sedot minuman plastik kemudian membuat rancang bangun sebuah karya. Mereka kemudian diajak mengembangkan rancangannya berdasar ide masing-masing. Apa pun bentuknya.

Selanjutnya dalam Computational Thinking adalah berpikir dengan algoritma dimana kita berpikir dengan mengurutkan langkah-langkah dalam menyelesaikan masalah agar menjadi logis. Peserta didik diminta untuk mencatat urutan langkah-langkah dalam menyelesaikan masalah hingga sampai pada menentukan produk apa yang akan dibuat.

Setelah selesai proses pembelajaran tentang permasalahan bekas sedot muniman plastik tersebut tergambar dengan jelas bagaimana peserta didik memulai dengan mencari informasi bahwa plastik takkan terurai dalam waktu lama. Peserta didik diajak berpikir bagaimana pemanfaatannya, dan bagaimana menciptakan produk dari sampah sedotan minuman plastik.

Walaupun sangat sederhana, namun pembelajaran berbasis Computational Thinking sudah mengajarkan kepada peserta didik bagaimana belajar sesungguhnya.

Terlepas dari semua itu, keterampilan dan inovasi guru sangat dibutuhkan dalam menggali sebanyak mungkin informasi yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Kalau peserta didik dipaksa untuk berpikir Computational Thinking maka guru pun harus lebih menguasai ketimbang peserta didik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROGRAM KEGIATAN UJIAN PRAKTEK PENJASORKES

RPP BERDIFERENSIASI PJOK SMP